ETIKA GENERASI DIGITAL DAN PROGRAM MERDEKA BELAJAR

Tulisan ini merupakan satu dari 15 essay sebagai Pemenang Lomba Menulis Esai Simposium Nasional ”Refleksi Pembelajaran Masa Pandemi Covid-19 dan Strategi Peningkatan Mutu Menuju Habitus Baru”
Pada 1 Juli 2021

Kondisi Terkini di Era Digital
Penggunaan digital di era Revolusi Industry 4.0 menjadi penanda kemajuan kehidupan modern abad 21. Revolusi industry digital sebagai tatanan dunia baru, dunia tanpa batas teritorial maupun batas kebudayaan umat manusia menjadikan Generasi digital Indonesia tidak siap dalam menyambut dunia tanpa batas. Akibatnya, media sosial digunakan untuk menampilkan diri menjadi narsis bahkan semua permasalahan pribadi, keluarga, dan masyarakat diungkapkan secara los-dol untuk memaki dan berkata kasar penuh dengan aneka tuduhan ala teori konspirasi. Sehingga, media sosial menjadi infobesitas atau banjir informasi yang tidak penting.

Microsoft merilis “Indeks Keberadaban Digital” atau “Digital Civility Index” yang menunjukkan tingkat keberadaban pengguna internet atau netizen sepanjang tahun 2020. Hasilnya memprihatinkan, karena menunjukkan bahwa tingkat keberadaban (civility) netizen Indonesia sangat rendah. Laporan yang didasarkan atas survei pada 16.000 responden di 32 negara antara April-Mei 2020 itu menunjukkan Indonesia ada di peringkat 29. Survei itu mendapati 47% yang disurvei pernah terlibat dalam bullying di dunia maya, 19% bahkan mengatakan pernah menjadi sasaran bullying. Kelompok yang paling terpapar bullying di internet adalah generasi Z atau yang lahir antara tahun 1997-2010 (47%), kelompok milenial atau yang lahir antara tahun 1981-1996 (54%), generasi X atau yang lahir antara tahun 1965-1980 (39%) dan kelompok baby-boomers atau yang lahir antara tahun 1945-1964 (18%). Berdasarkan hasil survey, Indonesia pada tahun 2020 menjadi negara dengan warga netizen paling tidak beradab di Asia Tenggara (Eva Mazrieva, 2021).

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) juga melakukan survey tentang penggunaan internet. Hasilnya adalah pengguna dan pelaku pembulian di internet terbanyak dilakukan oleh generasi dengan tingkat pendidikan tertinggi hanya tamatan Sekolah Dasar (Raharjo, 2021). Survey menunjukkan bahwa generasi muda banyak menghabiskan waktu dengan bersandiwara simulakra di media sosial yang jauh dari budaya keilmuan dan justru terjebak dalam isu pinggiran dan membuat tidak produktif. Waktu dan energy habis dalam perdebatan absurd yang tak berkesudahan.
Kedua hasil survey tersebut menunjukkan permasalahan yang sangat serius dan menunjukkan rendahnya kualitas generasi Indonesia. Masalah digital tidak hanya terjadi di Indonesia, dari Estonia dan Singapura sampai ke India, dari Eropa Barat sampai Amerika bersama-sama sedang mencari solusi dalam menghadapai tantangan era digital. John Borthwick (Keen, 2019) mengemukakan lima hal memperbaiki masa depan digital: pemanfaatan platform teknologi, membuat aturan untuk tidak percaya pada informasi digital begitu saja, memberikan tanggungjawab terhadap manusia tentang penggunaan teknologi, membiasakan ruang public dengan kegiatan produktif, dan penjaminan system pengamanan sosial pengguna internet. Belajar dari hal tersebut, Indonesia sebagai bagian dari world citizenship atau masyarakat dunia memiliki tanggungjawab memperbaiki tatanan kehidupan berbudaya, berbangsa, dan berglobalisasi.

Program Merdeka Belajar Berbasis Konstitusi
Dalam Program Merdeka Belajar, pembelajaran etika dan kesadaran perilaku baru sangat diperlukan untuk menciptakan generasi digital yang cerdas dan mencerahkan, produktif dan berbingkai keadaban mulia. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dalam pembelajaran perlu memasukkan nilai-nilai agama. Tentunya memasukkan nilai agama bukanlah sebuah pemikiran pragmatis dan sekuler. Bukan pula alergi dan menolak digitalisasi. Tetapi karena nilai agama dan akhlak mulia melekat dalam peta jalan pendidikan maupun pemikiran dan kebijakan pendidikan nasional yang telah disusun dalam perundang-undangan yang bersifat fundamental dan imperative. Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kementerian pendidikan dan kebudayaan atau institusi Negara apapun, akan salah jika menjauhkan nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan sebagaimana menjadi perintah konstitusi tersebut (Haedar Nashir, 2021).

Lebih lanjut, melalui program merdeka belajar guru perlu membangun komunikasi yang lebih baik lagi dengan orang tua. Orang tua perlu diberikan ekspektasi yang realistis tentang pencapaian anak ketika Belajar dari rumah. Guru perlu menggunakan penilaian profesional untuk menilai konsekuensi dari pembelajaran tersebut (Karmila, 2021). Etika digital pada program merdeka Belajar sejalan dengan pemikiran Bapak Ki Hadjar Dewantara yaitu a) tidak hidup terperintah; (b) berdiri tegak karena kekuatan sendiri; (c) cakap mengatur hidupnya dengan tertib (Bukik Setiawan, 2021). Olehnya itu, kesadaran belajar sendiri di rumah sangat membutuhkan keterlibatan aktif orang tua. Utamanya mengontrol jadwal belajar anak yang dilakukan secara digital. Orang tua perlu diberikan pemahaman tentang etika pembelajaran digital. Etika di Dunia Digital merupakan kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquet) dalam kehidupan sehari-hari. Olehnya itu, ada etiket dan netiket yang harus dipahami oleh generasi digital. Dimana etiket atau tata cara individu berinteraksi dengan individu lain atau dalam masyarakat. Sedangkan Netiket atau etiket berinternet perlu diajarkan untuk membangun Negara yang beradab.

Sehubungan dengan etiket dan netiket, seorang pemikir dan filosof dari Jerman Imanuel Kant (1724-1804) menyatakan “If an action is not right for everyone to take, it is not right for anyone” Jika tindakan tidak tepat untuk diambil semua orang, itu tidak tepat untuk siapa pun. Sebuah pendapat yang menyatukan rasionalisme dan empirisme yang perlu dipahami dalam pembelajaran digital. Tantangan yang dihadapi membutuhkan sebuah paradigm baru dalam pembelajaran. Teknologi digital mendesak pedagogy digital sebagai paradigm baru dalam proses pembelajaran(Suwignyo, 2021). Selain menguasai pedagogy digital, guru sebaiknya memiliki skills dalam hal menggunakan Technology di era revolusi Industrial 4.0, Memahami perkembangan ilmu pengetahuan baru, memiliki kesadaran global, dan yang paling penting memiliki kemampuan untuk terus belajar (Adrianus Asia Sidot, 2021).

Penanaman Etika Digital pada Program Merdeka Belajar
Pelaksanaan pembelajaran pada program merdeka belajar saat pandemic bahkan setelah pandemic perlu digunakan metode pengajaran Hybrid. Hanya saja durasi penerapan hybrid learning ketika pandemic berakhir dapat dikurangi dan diganti dengan tatap muka secara offline.
Hybrid learning dilakukan dengan cara guru menginstruksikan siswa langsung dengan jarak jauh secara bersamaan. Metode pengajaran asinkron digunakan untuk melengkapi instruksi tatap muka yang sinkron.

Dalam proses pembelajaran, generasi digital dibimbing untuk menyadari pentingnya menerapkan etika digital dalam menggunakan internet, utamanya media sosial. Generasi digital diarahkan kepada tidak percaya langsung tanpa dibuktikan dengan penelitian(Worden, 2019). Sehingga sangat penting untuk menanamkan knowledge based research pada generasi digital. Keunggulan dari knowledge based research adalah mengembangkan sikap generasi digital yang ilmiah melalui etika ilmiah serta menggunakan teknologi untuk hal-hal yang positif dan produktif.
Knowledge based research diterapkan melalui model problem based learning, project based learning(Satrianawati, 2018) dan Science, Engineering, Technology, Mathematics STEM(Sunarto, 2021). Hal ini didasarkan pada karakter generasi digital yang fasih teknologi, social intents, dan multitasking (Satrianawati, 2018). Karakter ini dapat dibentuk melalui tanggungjawab menyelesaikan tugas. Oleh karena itu guru perlu membuatkan petunjuk atau Lembar Kerja Siswa (LKS) secara lengkap dan komprehensif.

Melalui model problem based learning, project based learning, dan STEM siswa dapat melaksanakan pembelajaran secara mandiri dan tematik dari rumah. Guru memberikan instruksi atau tugas pada siswa sesuai materi ajar. Siswa diminta melakukan praktik mandiri, membuat laporan dari tugas yang dikerjakannya. Kemudian, menggunggah dan menceritakan kegiatan belajarnya di media sosial yang digunakan. Selanjutnya saat tatap muka berlangsung, guru memberikan refleksi tentang perasaan generasi digital ketika menggunakan media sosial untuk hal yang produktif dan bermanfaat. Serta memberikan penguatan tentang manfaat memposting hal yang produktif dan bermanfaat. Melalui hal ini, penanaman etika digital pada generasi digital dapat ditanamkan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut:

Gambar 1. Alur Penanaman Etika Digital pada Generasi Digital

References
1) Adrianus Asia Sidot. (2021). Kebijakan Pendidikan di Indonesia. UKSW, Yogyakarta: Webinar Refleksi Pembelajaran Di Masa Pandemi Covid-19 dan Strategi Menuju Habitus Baru pada Jenjang Sekolah Dasar, 2 Juni 2021.

2) Bukik Setiawan. (2021). Merdeka Belajar Pada Pendidikan Prasekolah & Dasar. UKSW, Yogyakarta: Webinar Refleksi Pembelajaran Di Masa Pandemi Covid-19 dan Strategi Menuju Habitus Baru pada Jenjang Sekolah Dasar, 2 Juni 2021.

3) Eva Mazrieva. (2021). Digital Civility Index. Retrieved from https://www.voaindonesia.com/a/indeks-keberadaban-digital-indonesia-terburuk-se-asia-tenggara/5794123.html

4) Haedar Nashir. (2021). Pendidikan Nasional Berbasis Konstitusi. Suara Muhammadiyah, Edisi 06, 16-31 Maret, 16–17.

5) Karmila, W. (2021). Refleksi Implementasi Merdeka Belajar selama Masa Pandemi Covid 19 pada Jenjang Pendidikan Dasar. UKSW, Yogyakarta: Webinar Refleksi Pembelajaran Di Masa Pandemi Covid-19 dan Strategi Menuju Habitus Baru pada Jenjang Sekolah Dasar, 2 Juni 2021.

6) Keen, A. (2019). How to fix the future : staying human in the digital age. United States of America: Atlantic Monthly Press. Retrieved from www.atlantic-books.co.uk

7) Raharjo, A. B. (2021). Digital Ethics Issue and Technology Use. Surabaya: Webinar Literasi Digital Kabupaten Sumenep, 9 Juni 2021.

8) Satrianawati. (2018). Model Pembelajaran Untuk Keterampilan Abad 21. (Satrianawati, Ed.). Yogyakarta: Depublisher.

9) Sunarto. (2021). Refleksi Implementasi Pembelajaran Berbasis STEM dan Pembelajaran Abad XXI. UKSW, Yogyakarta: Webinar Refleksi Pembelajaran Di Masa Pandemi Covid-19 dan Strategi Menuju
Habitus Baru pada Jenjang Perguruan Tinggi, 3 Juni 2021.

11) Suwignyo, A. (2021). Pedagogi Digital Sebagai Paradigma Baru Pembelajaran. UKSW, Yogyakarta: Webinar Refleksi Pembelajaran Di Masa Pandemi Covid-19 dan Strategi Menuju Habitus Baru pada Jenjang Perguruan Tinggi, 4 Juni 2021.

12) Worden, K. J. (2019). Disengagement in the Digital Age: A Virtue Ethical Approach to Epistemic Sorting on Social Media. Moral Philosophy and Politics, 6(2), 235–259.
https://doi.org/10.1515/mopp-2018-0066